Jakarta,mediasurya.id – Anggota DPD RI, Pdt. Penrad Siagian mengecam keras tindakan represif dan brutal yang dilakukan oleh aparat kepolisian, Brimod, dan TNI dalam membubarkan massa aksi penolakan Revisi RUU TNI yang terjadi di berbagai kota.

Ia menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan berpendapat.

“Saya meminta Kapolri untuk mempertanggungjawabkan kebijakan represif yang sistematis dan meluas ini serta segera mengeluarkan kebijakan yang jelas guna melarang penggunaan kekerasan dalam pembubaran aksi,” kata Penrad dalam keterangan resminya, Sabtu, 29 Maret 2025.

“Hak untuk berkumpul dan menyatakan pendapat di depan umum adalah hak konstitusional setiap warga Indonesia yang dijamin dan dilindungi oleh undang-undang.” sambungnya.

Ia menyoroti bahwa tindakan represif aparat tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, tetapi juga melanggar berbagai regulasi nasional maupun internasional terkait HAM.

Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum serta Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik secara tegas menjamin hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi tanpa tekanan dan intimidasi.

Penrad juga menyinggung Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Konvensi Anti Penyiksaan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan kejam yang merendahkan martabat kemanusiaan.

Dia menegaskan bahwa penggunaan gas air mata, pentungan rotan dan penangkapan sewenang-wenang terhadap demonstran termasuk mahasiswa, pelajar dan masyarakat sipil merupakan bukti nyata pelanggaran HAM.

“Praktik pembubaran massa yang dilakukan secara represif merupakan bentuk pembatasan hak masyarakat sipil secara semena-mena.”ujarnya.

Lebih lanjut ia mengkritik penggunaan kekerasan dalam penanganan aksi yang damai sebagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan dalam negara hukum.

“Ini menunjukkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya hak untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat yang dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sama-sama mengatur hak-hak asasi manusia (HAM).”katanya.

Diketahui penolakan terhadap RUU TNI semakin meluas dikalangan mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil.

Oleh karena itu Penrad mendesak Presiden untuk meninjau ulang pengesahan aturan tersebut agar proses legislasi berjalan sesuai prinsip demokrasi dan transparansi.

“Saya mendesak agar Pemerintah melalui Presiden mengevaluasi pengesahan RUU TNI karena memang secara prosedural melanggar asas keterbukaan dan keterlibatan publik.” tegasnya.

Lebih jauh Penrad juga meminta Pemerintah dan DPR untuk tidak mengkhianati rakyat dalam proses penyusunan perundang-undangan.

Secara prosedural beliau berkata dalam Pasal 96 UU Nomor 13/2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12/2011, mewajibkan Pemerintah dan DPR untuk melibatkan partisipasi publik yang luas dan mudah kepada masyarakat dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU).

“Proses pembahasannya bukan malah dikebut secara kilat di hotel bintang lima.” tegasnya.

Pada pasal itu, sambungnya, publik harus diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Penyusunan undang-undang harus membuka ruang partisipasi publik, bukan dilakukan secara kilat dan tertutup seperti yang terjadi dalam revisi RUU TNI, UU Minerba, UU KPK, dan UU BUMN. Legislasi yang terburu-buru tanpa keterlibatan publik hanya akan melahirkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.” ucap Penrad.

Diketahui aksi penolakan terhadap RUU TNI di sejumlah kota diwarnai tindakan represif aparat.

Di Surabaya, 25 pendemo ditahan dan dua jurnalis mengalami kekerasan. Seluruh demonstran akhirnya dibebaskan pada Selasa, 25 Maret 2025.

Di Malang, enam mahasiswa ditahan saat unjuk rasa pada Minggu, 23 Maret 2025 dan telah dibebaskan.

Selain itu, 10 demonstran mengalami kekerasan fisik hingga dilarikan ke rumah sakit, satu di antaranya mengalami cedera serius di rahang, tengkorak, dan gigi.

LBH Pos Malang melaporkan, tim medis juga menjadi korban pemukulan dan intimidasi.

Alat medis dan obat-obatan mereka dirampas, bahkan seorang relawan yang mencoba melindungi paramedis dikeroyok aparat.

Massa juga mengalami kekerasan seksual dan ancaman pembunuhan verbal.

Aksi serupa terjadi di berbagai kota termasuk Jakarta, Bandung, Semarang, Tasikmalaya, Sukabumi, Jember, Majalengka, Lumajang, Kupang, Ende, Blitar, Pematangsiantar dan beberapa daerah lainnya.

(Erwin Sitompul)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *