Jakarta, MEDIA SURYA -Para ilmuwan di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menemukan bukti keberadaan gelombang panas laut di dasar samudera. Ini adalah kabar buruk bagi kesehatan lingkungan Bumi.
Sebelumnya, di tahun 2013-2016 laporan mengenai The Blob sudah sangat memprihatinkan dan menjadi berita utama di berbagai negara. The Blob adalah sebutan untuk kondisi yang menggambarkan laut sebagai gelombang panas yang menghancurkan secara besar-besaran di Samudera Pasifik timur laut.
Saat perairan lepas pantai barat AS menghangat, ekosistem pun berubah. Terumbu karang memutih secara massal, dan lebih dari satu juta burung mati di seluruh Amerika Utara. Namun tampaknya, laporan terbaru kali ini bermakna lebih dalam dan lebih memprihatinkan dibandingkan The Blob.
Gelombang panas yang dilaporkan ada di dasar samudra, diperkirakan bertahan lebih lama, dapat menyebabkan pemanasan yang lebih drastis, dan terkadang terjadi dengan sedikit atau tanpa bukti adanya pemanasan di permukaan.
“Hal ini dapat terjadi tanpa disadari, sampai dampaknya mulai terlihat,” kata Dillon Amaya, seorang ilmuwan peneliti di Laboratorium Ilmu Fisika NOAA dan penulis utama makalah baru tersebut, dikutip dari IFL Science, Kamis (23/3/23).
Dampak tersebut berpotensi menjadi bencana, baik untuk ekosistem laut dan lebih jauh lagi, bagi industri yang bergantung padanya. Meskipun lautan dunia mungkin bukan yang terlintas dalam pikiran ketika kita mempertimbangkan korban pemanasan global yang paling parah terkena dampaknya, mereka sebenarnya berkontribusi menyerap sekitar 90% kelebihan panas yang dihasilkan oleh emisi karbon buatan manusia.
Dengan demikian, pemanasannya akan terjadi lebih cepat daripada rata-rata suhu Bumi. Untuk diketahui, Bumi telah mengalami peningkatan suhu sekitar 1,5 derajat celcius selama abad terakhir dan gelombang panas laut menjadi sekitar 50% lebih sering terjadi dalam dekade terakhir.
Tak heran jika ada minat yang besar untuk memantau gelombang panas laut selama beberapa tahun terakhir. Terlepas karena alasan terkait perhatian terhadap ekologi, ini adalah pertama kalinya para ilmuwan memiliki lebih banyak data dan berhasil menggalinya begitu dalam.
Itu sebagian karena memantau suhu laut yang dekat dengan permukaan sangatlah mudah. Tidak hanya berkat metode analisis yang mapan dan langsung untuk data yang dikumpulkan di permukaan, tetapi ada lebih banyak data untuk memulai penelitian, mulai dari citra berkualitas tinggi yang diambil oleh satelit, kapal, dan pelampung.
Namun demikian, memantau dasar lautan juga sangat sulit. Karena kekurangan data itu, para peneliti harus menggunakan teknik yang disebut ‘analisis ulang’ untuk studi tersebut, yakni sebuah metode yang melibatkan pengambilan data pengamatan apa saja yang
tersedia, dan menggunakan model komputer untuk ‘mengisi kekosongan’ di mana informasi tidak ada.
Ini adalah pendekatan yang sudah ada sejak lama, tetapi baru belakangan ini teknik dan teknologi analisis ulang menjadi cukup kuat untuk melakukan jenis penilaian yang kita lihat sekarang.
“Para peneliti telah menyelidiki gelombang panas laut di permukaan laut selama lebih dari satu dekade sekarang. Tetapi ini adalah pertama kalinya kami dapat benar-benar menyelam lebih dalam dan menilai bagaimana peristiwa ekstrem ini terjadi di sepanjang dasar laut yang dangkal,” kata Amaya.
Dan dengan terbukanya informasi ini, sangat penting untuk mempertahankan pemantauan laut dalam. Untuk diketahui, peningkatan suhu di dasar lautan telah dikaitkan dengan sejumlah masalah ekologis, mulai dari perluasan spesies invasif seperti lionfish hingga runtuhnya populasi asli yang sudah lama ada seperti lobster di selatan New England.
Dengan metode pengumpulan data baru ini, para peneliti berharap dapat mengembangkan kemampuan pemantauan real-time yang dapat mengingatkan pengelola sumber daya laut terhadap kondisi laut dalam.
“Kita tahu bahwa pengenalan awal gelombang panas laut diperlukan untuk pengelolaan proaktif laut pesisir,” kata rekan penulis Michael Jacox, seorang ahli kelautan penelitian NOAA. “Sekarang sudah jelas bahwa kita perlu lebih memperhatikan kondisi dasar laut, tempat beberapa spesies paling berharga hidup dan dapat mengalami gelombang panas yang sangat berbeda dari yang ada di permukaan,” tutupnya. (dtc)