Jakarta, MEDIA SURYA – Dr Djonggi M Simorangkir SH MH penasihat hukum Josua Darnel Tampubolon miris atas kasus Laporan Hukum Pidana atas kebohongan Rospita Mangiring SH, terungkap saat awali Sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara Penggugat Josua Darnel Berwalt Tampubolon dari Jakarta menyampaikan terkait “Surat Keterangan Ahli Waris” Nomor: 471.1-39 atas Nama Rospita Mangiring Tampubolon SH yang ditandatangani Lurah Jatinegara Binjai Utara 12 April digugat di Kantor PTUN Jln Bunga Raya No 18 Kecamatan Medan Sunggal, terungkap bahwa Rospita Mangiring berani membuat “3 Surat Keterangan Palsu” tanpa menghadirkan atau tanpa menyertai Saksi-Saksi ini diduga membohongi Kepling Lurah, dan Camat guna meluluskan kata hatinya yang diduga jahat untuk merampas hak dan harta yang bukan warisannya (Rospita- Red) dari Ayah Angkat/Ibu Angkatnya Dinar Br Siahaan.

Diketahui semua adalah hak anak kandung, yakni Josua Darnel dan 4 Saudaranya dari Ayah Kandungnya Demak M Tampubolon,” ungkap Djonggi.

Sementara Anak Kandung (biologis) Demak Tampubolon adalah Josua Darnel dan 4 Saudaranya lah pewaris dari Ayah kandungnya.

Meyakinkan hal di atas sebelumnya PH Rospita, Betty Ayu Napitupulu dan Ruth Silaban SH LLM pernah menyambangi Kantor Dr Djonggi Simorangkir di Jakarta mendengar pernyataan Betty Ayu,

“Rospita Mangiring benar “Anak Angkat” Demak Tampubolon tapi Haknya sama dengan Anak Kandung Demak yakni Josua Darnel,” ujar Djonggi menirukan ucapan Betty Ayu yang mengatakan lebih lanjut, “Saya anak Hakim Tinggi lho,” ucap Ayu ceplos kepada Djonggi diduga menakut-nakuti Djonggi.

Kemudian Djonggi dalam bincang-binangnya dengan Betty Ayu lagi, menuturkan,

“Kalau Rospita Mangiring benar Anak Angkat atau Anak pungut, atau kalau Anak Kandung tolonglah tunjukkan bukti- bukti Surat penetapan dari orang tuanya kandung Rufinus dan Hilderia Marpaung!? baik anak kandung atau anak angkat,?” tanya Djonggi meminta.

Lalu Betty Ayu menjawab “Dimata hukum sama hak anak angkat dan anak kandung, seraya mengaku ini ada bukti tapi hanya memegang kertas, tak mau menyerahkan, karena Djonggi berpikir itu kebohongan, bukan pula solusi dari pengungkapan Betty Ayu.

Hingga sidang berlangsung 31 Juli 2024, Ruth Silaban SH LLM tidak ikut lagi menemaninya dalam persidangan di PTUN.

Selain itu Saksi-saksi tidak mengakui Rospita Mangiring anak kandung yakni:

1.Ibu Hutagaol Br
Manullang tetangga
Rufinus Tampubolon
2.Dra Bintang Simorangkir,
SH.
3.Dokter John Napitupulu.
4.Lurah ERDI ANDIKA, SH
5.MARDIANA Kepling VII
Jatinegara Binjai Utara
Jl.Cut nyakdin Binjai,
6.Ny Tiurma Tampubolon/
Frida Boru Hutagaol Inang
Tua Kandung Yosua
Darnel. di T Batu Balige

  1. Ir Tumpak Tampubolon
    (Abang KandungRospita)
    Helvetia Medan
    8.Risma Tampubolon
    (Kakak Kandung Rospita)
    9.Ny. M. Hutabarat
    Martiana boru
    Tampubolon dari Binjai
    Namboru Rospita
    Ny Br Siahaan pedagang rambutan tetangga Demak Tampubolon
    Masih banyak saksi-saksi lain dari Gereja

Diminta kepada “Bapak Kapolri, Institusi Polri harus presisi, tegas jangan dicederai oknum-oknum Polda Sumut yang akan mencoreng kepercayaan rakyat selama ini sudah baik, bahkan Sumut Polda Terbaik tidak hanya dalam Wacana Berita!!” tuturnya.

Untuk tindak pidana umum, masalah alat bukti diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa yang termasuk dalam alat bukti adalah:

Dr Djonggi menyampaikab bahwa dari keterangan PH Rospita Mangiring, Betty Ayu SH dan Ruth Silaban SH LLM, Djonggi Simorangkir berharap dan meminta dengan tegas kepada Kapolda Sumut, selain

“Memeriksa Rospita Mangiring SH dan Suaminya dr Jhon Napitupulu dipanggil dan diperiksa dari kekuatan Hasil Lie Detector (alat uji kebohongan) juga Betty Ayu Napitupulu SH dan Ruth Silaban SH LLM agar diketahui:

1) Sikap apa yang harus diambil oleh seorang hakim apabila lie detector dijadikan sebagai alat bukti di persidangan dikaitkan dengan Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya!”

2) Apakah lie detector (test kejujuran) dapat digunakan kalau kita melihat pada prinsip-prinsip pembaharuan hukum?”

3) Apakah lie detector termasuk ke dalam alat bukti elektronik di dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, dengan perluasan alat bukti tersebut?

Mohon bantuannya, terima kasih. Salam sejahtera,” minta Dr Djonggi yang sudah berpengalaman sebagai Ahli Hukum, yang memiliki elektabilitas tinggi dan jujur membela kepentingan kliennya tidak ada tedeng-aling serius dan fokus.

Disebutnya lagi, pada dasarnya kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti yang sah adalah bebas, dalam arti semua bergantung kepada keyakinan hakim atas alat bukti tersebut. Namun, yang perlu dicermati adalah Apakah hal tersebut termasuk dalam alat bukti yang diatur dalam undang-undang?
Apakah alat bukti tersebut telah memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam undang-undang?

Bila hal ini tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai Dasar Hukum Pidana maka kita akan laporkan Ke KPK sesuai Dasar Hukum
Hasil Lie Detector Menjadi Alat Bukti Perkara Pidana Karena ada keabsahan sebagai Alat Bukti Untuk tindak pidana umum, masalah alat bukti diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa yang termasuk dalam alat bukti adalah: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan terdakwa ditambah Hasil atas lie detector tidak termasuk dalam salah satu kategori alat bukti dalam KUHAP. Namun jika lie detector dimasukkan dalam pertimbangan hakim dalam memutus, maka lie detector bisa menjadi dasar keyakinan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan, karena keyakinan hakim hanya boleh didasarkan kepada dua alat bukti yang sah (lihat Pasal 183 KUHAP). Lain halnya jika hasil lie detector dipakai dalam hal memperkuat keyakinan hakim atas suatu alat bukti lain yang sah, seperti misalnya keterangan ahli atau keterangan saksi.

Mengingat dalam pertanyaan tidak dijelaskan untuk perkara apakah hasil lie detector ini digunakan,u maka jika hasil lie detector berupa print out atau hasil cetak di atas kertas (yang biasanya dikuatkan dengan keterangan ahli). Hal ini dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, yang (misalnya) digunakan untuk memperkuat keyakinan hakim atas dugaan adanya tindak pidana keterangan/sumpah palsu. Tentu saja hal ini harus didukung oleh alat bukti lain yang bersesuaian.

Melihat prinsip pembaharuan hukum, maka beberapa undang-undang khusus yang mengatur mengenai Tindak pidana khusus, seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001), UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 8 Tahun 2010), serta UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE (UU No. 11 Tahun 2008), telah mengakomodir pengaturan mengenai alat bukti digital/elektronik, termasuk dalam kategori ini hasil lie detector. Misalnya, untuk tindak pidana korupsi yang sudah memasukkan data elektronik sebagai sumber dari alat bukti petunjuk.

Pasal 5 UU ITE telah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti untuk tindak pidana terkait ITE adalah alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (maksudnya KUHAP) dan alat bukti lain termasuk informasi eletronik maupun dokumen elektronik. Melihat dari bentuknya, lie detector termasuk dalam dokumen elektronik, tetapi hal lain yang harus dipertimbangkan adalah apakah dokumen elektronik tersebut berhubungan dengan tindak pidana ITE yang sedang diperiksa?

Demikian penjelasan kami, semoga. UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dikutip penanya dalam pertanyaannya sejak 29 Oktober 2009 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 mengatur hal yang sebelumnya diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004
Dasar hukum: Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eelektronik, imbuh Dr Djonggi Simorangkir SH MH.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *