Medan, MEDIA SURYA – Bulan Suro menjadi bulan pergantian tahun baru dalam kalender Jawa. Umumnya, bulan Suro berlangsung selama 29 hingga 30 hari. Sedangkan di tahun 2024 ini, bulan Suro berlangsung 30 hari dengan tanggal 1 Suro jatuh pada hari Senin, 8 Juli 2024 lalu.
Anggota DPRD Kota Medan, Drs.Wong Chun Sen Tarigan, M. Pd. B mengatakan malam bulan Suro 1 itu sebagian masyarakat Jawa melakukan ritual dan tradisi. Wakil rakyat tiga (3) periode dari partai PDI Perjuangan DPRD Kota Medan ini mengaku sangat menghormati bulan Suro sebagai bentuk menghargai para leluhur, Wong Chun Sen mengaku setiap bulan Suro dia melalui akan ‘jamasan’ atau biasa disebut cuci keris dan benda pusaka. Jamasan dalam bahasa Jawa adalah salah satu tradisi yang biasa dilakukan oleh pihak keraton seperti Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Jamasan berarti memandikan, mensucikan, membersihkan, merawat dan memelihara. Sebagai wujud rasa terimakasih dan menghargai peninggalan atas karya seni budaya nan adiluhung para generasi pendahulunya kepada generasi berikutnya.
Ritual mencuci benda pusaka ini kerap dilakukan Wong bertepatan dengan masuknya bulan Suro setiap tahunnya.
Tradisi atau ritual mencuci benda pusaka pada Bulan Suro dilakukan oleh para pemilik benda pusaka baik berupa keris, tongkat maupun arca yang kental dengan nilai spritualnya.
Wong Chun Sen menyebutkan bahwa kegiatan cuci keris dilakukan setiap bulan Suro seperti kebiasan di Pulo Jawa, dimana ia telah melaksanakannya pada 10 tahun silam.
“Adapun maksud dan tujuan, pelaksanaan cuci keris dan memandikan benda-benda pusaka ini tak lain untuk melestarikan budaya dan nilai leluhur bangsa. Selain itu itu agar benda-benda tersebut lebih terawat. Nah mengenai ada nilai magic atau spritual, tentunya ada, namun kita merawatnya sebagai bentuk pelestarian budaya, “ujarnya, Senin (22/7/2024) di kediamannya Jalan Budi Pembangunan II No. 1-D kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan.
Dikatakan oleh Ketua Permabudhi Sumut ini, melestarikan budaya dari leluhur adalah sebagai bentuk penghormatan terutama nilai seni dan kemahiran pembuat keris atau benda pusaka yang sehingga memiliki ciri khas khusus dari benda pusaka lainnya.
“Pusaka mengandung banyak makna karena merupakan buah hasil karya cipta yang memiliki falsafah kehidupan, kearifan, sumber inspirasi, dan motivasi kehidupan. Ini sudah turun-temurun dilakukan. Benda pusaka itu dipelihara dengan cara dijamasi atau dicuci, dibersihkan. Jadi memang itu sudah sebagai perlambang keyakinan,” jelas Wong Chun Sen.
Pecinta benda benda pusaka yang diketahui sudah mengoleksi sebanyak 200 an lebih keris mengaku senang bisa merawat keris dan benda benda pusaka dan sakral miliknya.
Menurut sekretaris Komisi II DPRD Kota Medan ini dia sangat tertarik pada benda pusaka Keris. Keris dalam bahasa Jawa disebut dhuwung atau curigo. Biasa juga disebut tosan aji atau wesi aji (tosan = wesi = besi, aji = dihormati karena bertuah). Sehingga, dalam pandangan masyarakat keris mempunyai tempat tersendiri, sebab merupakan senjata yang dianggap mempunyai kekuatan gaib selain benda-benda pusaka lainnya.
Untuk jamasan atau biasa disebut memandikan keris membutuhkan minyak japaron, minyak cendana, minyak seribu bunga dan minyak melati. Terlebih dahulu membacakan doa dan ritual oleh orang khusus yang memahami dan memiliki ilmu kebathinan. (Nurlince Hutabarat)