Medan,Media Surya – Sebagai ‘Konsumen’ Informasi, masyarakat dituntut untuk lebih mawas, dan berhati-hati dalam menerima setiap kalimat, maupun tiap detik narasi dalam sebuah video yang ada di konten media sosial. Pengetahuan tentang hoaks pun harus diperkaya untuk kemudian menjadi pelindung diri agar tidak menjadi korban, atau bahkan sebagai pelaku penyebaran hoaks. Ada tiga turunan hoaks yang harus diketahui, yakni disinformasi, misinformasi, dan malinformasi, pada Jum’at.(31/5/24)

 

Menurut tokoh pemuda asli Medan dan sekaligus Pimpinan Umum Media Siber Nusantara (MSN), Bung Joe Sidjabat, tingginya penggunaan Media Cyber dan Media Sosial oleh Masyarakat mencerminkan fenomena Digitalisasi yang akan semakin berkembang kedepannya. Ia juga menambahkan bahwa masyarakat tampaknya cenderung mencari hal-hal baru menarik yang terkadang menyesatkan untuk membuat konten yang diyakini sulit untuk membedakan Informasi mana yang benar atau mana yang salah agar tampak lebih nyata dapat diterima oleh Netizen di dunia Maya.

 

Namun konten ‘HOAKS’ menjadi garis besar dalam persoalan kegagalan Informasi. Persebaran informasi yang salah terlalu masif tersebar, dan terkadang diterima secara mentah oleh masyarakat luas. Terlebih, hoaks mudah didapatkan di beragam media sosial maupun platform online lainnya. Hal inilah yang menggiring Indonesia pada kasus “Darurat Hoaks”, sehingga menimbulkan banyak intrik, ujaran kebencian, permusuhan, dan permasalahan sosial lainnya.

 

Dua hal yang telah disebutkan diawal (disinformasi, malinformasi) paling akrab dijumpai sebagai gangguan informasi. Dilansir dari Buku Pegangan untuk Pendidikan dan Pelatihan Jurnalisme yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO, Diketahui ada 7 jenis gangguan informasi sebagai instrumen disinformasi dan misinformasi yang dapat dipahami sebagai akar persebaran hoaks di Indonesia.

 

1. SATIRE dan PARODI

Keduanya kerap saling berkaitan. Satire dan parodi dapat dianggap sebagai bentuk seni, maka sering digunakan oleh para pelaku seni dalam dialog di setiap peranannya. Satire merupakan sindiran dalam tipologi tentang disinformasi dan misinformasi yang mungkin mengejutkan. Namun, di dunia tempat orang semakin menerima informasi melalui media sosial, ada kebingungan ketika tidak dipahami bahwa sebuah laman itu bersifat satire atau sindiran.

 

2. HUBUNGAN yang SALAH

Contoh hubungan yang salah adalah ketika judul berita, visual, atau keterangan tidak mendukung konten yang bersangkutan. Yang paling umum adalah judul berita click bait. Dengan meningkatnya persaingan untuk mendapatkan perhatian khalayak, editor semakin harus menulis judul berita untuk menarik klik, bahkan jika orang yang membaca artikel tersebut merasa telah ditipu. Ini juga dapat terjadi ketika visual atau keterangan digunakan, terutama di situs-situs seperti Facebook, untuk memberikan kesan tertentu, yang tidak didukung oleh kontennya. Ketika orang menggulir feed di media sosial mereka tanpa mengeklik ke artikel (yang sering terjadi), visual dan keterangan yang menyesatkan bisa sangat menipu.

 

3. KONTEN yang MENYESATKAN

Jenis konten ini adalah ketika ada penggunaan informasi yang menyesatkan untuk membingkai isu atau individu dalam cara tertentu dengan memotong foto, atau memilih kutipan atau statistik secara selektif. Visual adalah wahana yang sangat ampuh untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan, karena otak kita cenderung tidak terlalu kritis terhadap visual12. Iklan berbayar yang meniru konten editorial juga masuk dalam kategori ini jika tidak disertai keterangan yang memadai.

 

5. KONTEN TIRUAN

Ada masalah besar ketika nama seorang jurnalis diletakkan di bawah artikel yang tidak mereka tulis, atau logo organisasi yang digunakan dalam video atau gambar yang tidak mereka buat. Sebagai contoh, menjelang pemilihan umum Kenya pada 2017, BBC Afrika menemukan bahwa seseorang telah membuat video lalu menambahkan logo BBC hasil Photoshop, dan video itu beredar di WhatsApp15. BBC lalu harus membuat video yang memperingatkan orang-orang untuk tidak tertipu oleh video rekayasa tersebut.

 

6. KONTEN yang MANIPULASI

Konten yang dimanipulasi adalah ketika konten asli dimanipulasi untuk menipu. Sebuah contoh dari Afrika Selatan menunjukkan gambar yang dimanipulasi dari Editor HuffPost bernama Ferial Haffajee—yang dalam satu kasus, duduk di pangkuan seorang pengusaha, Johan Rupert—yang menunjukkan ada hubungan pribadi di antara keduanya.

 

7. KONTEN REKAAN

Jenis konten ini dapat berupa format teks, misalnya “laman berita” yang sepenuhnya dibuat-buat, seperti WTOE5 News, laman berita fantasi yang menerbitkan artikel yang menyatakan bahwa Paus telah mendukung Donald Trump untuk Presiden. Ini juga dapat berupa visual, seperti halnya grafik yang secara keliru menyarankan bahwa orang dapat memilih Hillary Clinton melalui SMS17. Visual seperti ini ini menarget komunitas minoritas di jejaring sosial menjelang pemilihan presiden di AS.

 

“Dari Tujuh jenis gangguan Informasi diatas dapat dijadikan oleh khalayak umum, khususnya para pembaca dan penikmat konten sebagai sumber pengetahuan untuk memahami persoalan disinformasi, misinformasi, dan malinformasi. Dengan begitu, akan meminimalisir adanya penyebaran hoaks yang akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi individu, kelompok, maupun negara”, ungkap Pimpinan Umum MSN Bung Joe.(Red/Tim)

 

Sumber: Diskominfo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *